Artikel Terbaru

Pesan

Oleh : Sunandi Maulana Yusuf 


MENGENAL SOSOK KH AHMAD SANUSI DALAM KIPRAH PERJUANGAN DAN DAKWAH DI SUKABUMI 

Sukabumi Tempo Dulu 
Kota Sukabumi, dimana KH ahmad sanusi dilahirkan adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini terletak 115 km sebelah selatan Jakarta dan 90 km sebelah barat Bandung, dan wilayahnya berada di sekitar timur laut wilayah Kabupaten Sukabumi. Kota Sukabumi terdiri atas 7 kecamatan. Kota Sukabumi merupakan salah-satu kota dengan luas wilayah terkecil di Jawa Barat. Nama kota Sukabumi berasal dari bahasa Sunda, yaitu Suka-Bumen. Menurut keterangan, mengingat udaranya yang sejuk dan nyaman, mereka yang datang ke daerah ini tidak ingin untuk pindah lagi karena suka/senang bumen-bumen atau bertempat tinggal di daerah ini. Secara administratif Sukabumi terdiri dari daerah Kota dan Daerah Kabupaten. 
Kabupaten Sukabumi beribukota di Pelabuhan Ratu. Pada tahun 1914, pemerintah Hindia Belanda menjadikan kota Sukabumi sebagai Burgerlijk Bestuur dengan status Gemeente dengan alasan bahwa di kota ini banyak berdiam orang-orang Belanda dan Eropa pemilik perkebunan-perkebunan yang berada di daerah Kabupaten Sukabumi bagian selatan yang harus mendapatkan pengurusan dan pelayanan yang istimewa. 
 Sejak ditetapkannya Sukabumi menjadi Daerah Otonom pada bulan Mei 1926 maka resmi diangkat “Burgemeester” yaitu Mr. G.F. Rambonnet. Pada masa inilah dibangun Stasiun Kereta Api, Mesjid Agung, gereja Kristen; Pantekosta; Katholik; Bethel; HKBP; Pasundan, pembangkit listrik Ubrug; centrale (Gardu Induk) Cipoho, Sekolah Polisi Gubermen yang berdekatan dengan lembaga pendidikan Islam tradisionil Gunung Puyuh. Setelah Mr. G.F. Rambonnet memerintah ada tiga “Burgemeester” sebagai penggantinya yaitu Mr. W.M. Ouwekerk, Mr. A.L.A. van Unen dan Mr. W.J.Ph. van Waning. 

K.H Ahmad Sanusi & Misi Dakwah dalam Perjuangan  
KH Ahmad sanusi atau “uci” begitulah beliau dikenal hangat di masyarakat. Beliau lahir di Desa Cicantayan Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi pada tanggal 03 Muharram 1306 H atau bertepatan dengan 18 September 1889 M. Beliau merupakan sosok yang sangat termasyhur di daerah Jawa barat karena jasa-jasa nya di bidang pendidikan. Di Jakarta nama beliau juga terkenal baik berkat perjuangannya. 
KH Ahmad Sanusi sejak kecil sampai umur 15 tahun belajar agama pada ayahnya, yaitu K.H. Abdurrahiim (pimpinan Pondok Pesantren Cantayan Sukabumi). Setelah menginjak umur 16 tahun, beliau mulai menuntut ilmu agama selama 6 tahun ke berbagai pesantren di Jawa Barat, diantaranya seperti Pesantren Garut, Cianjur, dan Tasikmalaya. Kemudian beliau melanjukan pendidikannya ke Makkah al-Mukarromah selama 11 tahun (1904-1915). 
Selama menuntut ilmu agama di Makkah al-Mukarromah, beliau sering bergaul dengan tokoh-tokoh Serikat Islam (SI) yang selanjutnya beliau menjadi anggota dari organisasi tersebut.

1. Konsistensi Dakwah di era Perjuangan Kemerdekaan 
Mengemban Pesantren Dari Ayahandanya Awal mula perkembangan sayapnya dalam dakwah adalah waktu beliau pulang dari makkah al mukarramah. Rintisan pertamanya adalah dengan melanjutkan studinya melalui pengelolaan pesantren yang dimiliki oleh ayahnya yakni di daerah Cicantayan, Sukabumi. Selanjutnya karena dirasa sangat butuh dengan pengembangan pendidikan khususnya dalam bidang keislaman bagi para masyarakat sekitanya beliau mulai mendirikan pesantren sendiri di Genteng Babakan Sirna, cibadak, Sukabumi. 
Ternyata memang respons masyrakat sekitar cukup antusias terhadap pendidikan yang beliau ajarkan untuk mereka. Terbukti saja jumlah santri yang pada saat beliau buka awalnya sudah mencapai kurang lebih sekitar 170 orang. Suatu jumlah yang cukup banyak untuk ukuran pesantren perintis. Kesekian santri yang telah beliau didik selama itu ternyata tidak sisa-sia. Banyak dari mereka yang kembali mengembangkan sayapnya untuk terus menyebarkan syiar-syiar islam di Sukabumi. Kurang lebih dari santri yang terdidik itu ada 50 orang yang menjadi kiyai yang mendirikan pesantren juga serta memiliki santri yang banyak didaerahnya. 
Diantara nama-nama santri yang pernah menimba ilmu bersama di pondokan beliau adalah K.H al-Masturo (Alm) yang membangun pesantren Almasturiyyah di Cisaat Sukabumi, K.H Sanusi pendiri pesantren Sunnanul Huda Cikaroya, Cisaat, dan juga K.H Dadun Abdul Qohar pendiri pondok pesantren Ad-Da’wah Cibadak Sukabumi. Salah satu kuci utama yang beliau punyai dalam mendidik santrinya adalah bahwa beliau selalu memberikan kepercayayaan kepada para santrinya untuk berpikir bebas tanpa ada batas sesuai kemampuan ilmunya sehingga mereka mengambil ilmu berdasarkan cara yang mereka punyai. Alasan yang mereka miliki ternyata beliau luruskan melalui jalan penengah terlebih lagi dalam masalah furuiyyah. 
Selain mengembangkan ilmunya untuk para santri, ternyata beliau juga tidak pernah melupakan anak-anaknya. Dengan didikan belaiu agar menjadi putera yang berbakti pada negara, agama dan ummat. Selain itu juga pola pendidikan yang beliau ajarkan kepada santrinya adalah beliau selalu membeerikan materi pada jam 03.00 pagi hari hingga shubuh menjelang. Asumsi ini mengacu pada suatu fatwa nabi bahwa ilmu itu akan lebih berhasil ketika pagi hari saat fajar belum menyingsing. Inilah satu dari sekian metode yang diterapkan oleh K.H Ahmad Sanusi sehingga tercipta karakter santri yang kharismatik dan penuh keramahan. 
Salah satu sifat ramah yang beliau miliki adalah belaiu selalu memberikan penghormatan pada setiap orang yang menjadi partner hidupnya, meskipun juga lawan fahamnya. Terkadang bahkan beliau selalu menjadi ma’mum saat beliau melakukan ibadah jamaah shalat. Dan lawan fahamnya lah yang menjadi imam dalam shalat itu. Hal itu sering berlangsung dan beliau selalu berusaha untuk tawadhu akan hal itu demi kemashlahatan bersama. 
Seiring waktu yang terus berjalan. Perjuangan pun mesti menghadapi berbagai halangan dan rintangan, memang terkadang jalan tidak selamanya mulus. Begitu juga yang beliau hadapi sat itu. Selain berkiprah untuk ummat. Beliau juga tidak pernah melupakan akan kewajibannya sebagai warga Negara Indonesia yang mempunyai kewajiban untuk membela tanah air dan bangsa. Oleh karena itu, selang beberapa waktu kemudian. 
Pada tanggal 12 dan 13 bulan Nopember 1926 meletus pemberontakan di Jawa Barat yang dikenal sebagai Gerakan Syarikat Islam (SI) Afdeeling B yang merupakan perlawanan rakyat jelata terhadap pemerintah kolonial Belanda. K.H. Ahmad Sanusi bersama santri-santri Pesantren Genteng Babakan Sirna dituduh terlibat dalam pemberontakan tersebut, sehingga beliau ditangkap dan masuk penjara di Sukabumi 6 bulan dan di Cianjur 7 bulan. Kemudian pada tahun 1927 beliau diasingkan oleh pemerintah Belanda ke Tanah Tinggi, Jakarta selama 7 tahun (1927-1934). 
Dalam pengasingannya, K.H. Ahmad Sanusi tetap terus berdakwah menyebarluaskan ilmunya dengan giat dan istiqomah, sehingga seluruh masjid yang ada di Jakarta masa itu sempat dikunjungi dan bertabligh. Karena pada saat itu hampir seluruh kota-kota besar di jawa barat berontak mengusir belanda dari bumi Indonesia ini. Awal pemberontakan nya dilakukan oleh SI. Karena memang pada saat itu KH Ahmad sanusi mempunyai banyak santri maka dikerahkannya pula meereka dengan semangat jihad yang membara. Salah satu usahanya dalam menghambat laju pergerakan Belanda yang dilakukan oleh beliau adalah dengan memutuskan aliran listrik dan telepon serta rel-rel kereta api juga di rusaknya. Hal itu dilakukannya agar belanda terhambat dan susah masuk ke daerah itu, dan komunikasi diantara mereka total terhambat, sementara beliau mempersiapkan diri untuk menyerangnya. Hanya saja karena watak beliau telah terlahir sebagai sosok yang kreatif, beliau tidak lantas tinggal diam dalam tahanan dan dekaman waktu itu. Beliau selalu berusaha untuk terus berakari dan memberikan hal-hal yang bermanfaat untuk ummat. Salahsatu hal yang dilakukannya adalah dengan menerbitknamajalah yang berjudul Al-hidayah islamiyyah. Selain itu beliau juga sering melakukan siraman-siraman rohani kepada masyarakat Jakarta, disamping membangun komunikasi yang baik dengan mereka dengan shilaturrahmi yang terus dilakukannya. 
KH Ahmad Sanusi diangkat menjadi salah seorang instruktur latihan yang diselenggarakan untuk mengadakan konsolidasi politik Jepang terhadap umat islam. Pada tahun 1944, ia diangkat oleh Jepang sebagai wakil residen di Bogor. Secara resmi KH Ahmad Sanusi mewakili PUI dalam Masyumi. Sampai menjelang kemerdekaan republik Indonesia, dia tercatat sebagai anggota panitia Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPIPKI). Namanya dicoret dari keanggotaan BPUPKI karena ia dianggap terlalu banyak memihak Islam. Hal ini dilakukannya dengan tujuan agar kelak Indonesia merdeka menjalankan peraturan yang berdasarkan syariat Islam 

2. Pelembagaan Dakwah melalui AII 
Sekitar bulan November 1931, berkumpulah para ulama di Cicurug Sukabumi untuk bermusyawarah dalam menentukan sikap terhadap situasi perpecahan yang sangat merugikan. Dari musyawarah tersebut, dapat diambil satu kesepakatan diantar para ulama untuk membentuk perhimpunan para ulama yang di beri nama “Al-Ittihadiyatul Islamiayah” (AII), dimana KH. Ahmad Sanusi terpilih menjadi ketua, dengan kantor Pusatnya di Tanah Tinggi Jakarta. Pada tahun 1931 itu dimana KH Ahmad Sanusi masih dalam masa pembuangan, resmilah beliau mendirikan perhimpunan “Al-Ittihadiyatul Islamiyah” (AII) yang bergerak dalam sosial pendidikan sekaligus wadah pergerakan nasional untuk menanamkan harga diri, persamaan, persaudaraan dan kemerdekaan. Pada tahun 1934 K.H. Ahmad Sanusi dikembalikan oleh pemerintah Belanda ke Sukabumi dengan status tahanan kota selama 5 tahun, Kedudukan Pengurus Besar AII pun dipindahkan ke Sukabumi. Pada tahun itu juga, K.H. Ahmad Sanusi mendirikan rintisan Pondok Pesantren Gunung Puyuh di Sukabumi yang masih berjalan sampai sekarang. 
Pada zaman pendudukan Jepang, tahun 1943 beliau diangkat sebagai penasihat pemerintah Keresidenan Jepang, suatu syarat agar AII bisa dihidupkan setelah dibekukan Pemerintah Jepang bersama-sama seluruh organisasi kemasyarakat lainnya. Pada tahun 1944 beliau diangkat sebagai Wakil Residen Bogor. Selanjutnya ditunjuk menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia. AII yang di kendalikan dari Jakarta, sasaran garapanya adalah dalam Pendidikan, Da’wah, Sosial, Ekonomi, dan Kebangsaan (Politik). Di bentuk pula Baitul Maal yang menghimpun dana, yang banyak membantu para pedagang kecil dan warga AII. Untuk melayani pengusaha-pengusaha ummat Islam lainya, dibentuk Syarikat Usaha Persatuan Umat Islam (SUPI). Dalam pengembangan dan pembinaanya, Das Sa’ad, seorang pegusaha yang cukup terkenal di Jakarta, besar peranannya dalam hal ini. AII bersama organisasi lainya, pada tahun 1932, memboikot barang-barang Import, terutama barang-barang dari Eropa. 
sementara itu, pada tahun 1933 bersamaan dengan status KH. Ahmad Sanusi yang masih di internir di Jakarta, AII mengadakan Muktamar I di Bogor dengan thema “Pemantapan Organisasi dan pimpinan”. AII menempuh jalan Ahli Sunanah Wal Jama’ah, yang menetapkan ciri-cirinya yang terdiri 10 pasal, yaitu : a. Shalat lima waktu berjama’ah; b. Tidak menghina salah seorang Sahabat Nabi Muhammad SAW; c. Tidak durhaka kepada pimpinannya; d. Tidak diragukan keimanannya; e. Beriman kepada Qodlo; f. Tidak bermusuh-musuhan dalam agama Allah; g. Tidak sekalipun berani mengkafirkan kepada salah seorang pemeluk Agama Islam; h. Tidak segan mensholatkan mayit orang Islam; i. Mengharuskan menyapu Mujah (kaca kaki) bagi musafir dan orang yang hadir; j. Suka shalat dengan berma’mum baik dengan orang yang sefaham maupun dengan orang yang tidak sefaham.
Disamping itu, ditetapkan sepuluh macam kewajiban anggota AII. Kedua ketetapan ini tercantum pada kartu kartu tanda anggota AII. 3. Pengadaan Muktamar Setelah sebelumnya di adakan muktamar di bulan september 1933, yang melahirkan bentukan berupa adanya AII selanjutnya beliau mengadakan kembali muktamar lanjutan pada tahun Tahun 1935, yakni Muktamar II di Sukabumi. Kemudian pada tahun 1939 diadakan Muktamar III di Bandung. Pada kedua Muktamar ini, banyak masalah yang dibicarakan antara lain konsolidasi organisasi, keagamaan, masalah penulisan mushaf al-Qur’an dengan huruf latin, mosi pembebasan K.H. Ahmad Sanusi dari tahanan kota, sikap ummat Islam terhadap penjajah Belanda, menampilkan tokoh-tokoh muda, penerbitan majalah resmi organisasi yaitu Attabligh Isslamiyah, dan pembentukan departemen-departemen (sejenis majlis). Departemen-departemen tersebut seperti : Departemen barisan Islam Indonesia (majlis Pemuda), Departemen Zaenabiyah (Majlis Wanita), Departemen Muballigh dan Propaganda (Majlis Penyiaran dan Penerangan), Departemen Ittihadul Madaris Islamiyah (Majlis Pendidikan danPengajaran), dan sebagainya. 
Polemik yang terjadi pada internal AII terkait karakter K.H. Ahmad Sanusi kemudian muncul pada Muktamar III tahun 1939, yaitu sekitar tahun 1935-1936. Berita itu massif di kalangan pimpinan AII, bahwa bila AII terus dipegang oleh K.H. Ahmad Sanusi yang sifatnya radikal dan tegas, maka AII akan mendapat hambatan. Sebaliknya bila AII ditinggalkan oleh K.H. Ahmad Sanusi kemajuannya pun belum tentu dipertanggung jawabkan. Akibatnya timbul dualisme di kepemimpinan AII. AII asli yang dipimpin oleh K.H. Syafi’I dan Hasan Natsir, adapun AII far’i masih dipimpin oleh K.H. Ahmad Sanusi. Namun pada faktanya, pola penerimaan di masyarakat ternyata masih memandang pribadi beliau yang sangat berpengaruh sehingga AII ini masih diterima ummat. 
Ketika berkecamuk Perang Dunia ke II, Belanda di duduki Jerman, sehingga partai-partai politik Indonesia menuntut denganpenuh semangat agar indonesia berparlemen. Pada saat itu tanggal 24-29 desember 1940, AII mengadakan Muktamar yang ke IV di Cianjur. Pada Muktamar ini Departemen barisan Islam Indonesia sangat berperan, K.H. Ahmad Sanusi langsung menggemblengnya. Diterbitkanlah majalah sendiri majalah Barisan Islam Indonesia (BII) dengan motto beruliskan “nashrumminallah Wafathun Qorib”
BII sangat menunjang perjuangan dan mempercepat proses Indonesia merdeka. Sejak tahun 1940, AII menjadi anggota Majlis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), kemudian tahun 1942, MIAI berubah menjadi organisasi federasi baru dengan nama Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), yang pimpinan pusatnya berkedudukan di Jakarta. Anggota Federasi Masyumi pada waktu itu adalah organisasi Islam yang pusatnya berkedudukan di pulau jawa antara lain : NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, Perikatan Ummat Islam (PUI) dan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII). 
Pada tanggal 9 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang tanpa syarat, bendera Belanda turun dan naiklah bendera Jepang. Jepang menyebarkan slogan-slogan yang sangat menarik. Indonesia akan bebas dari penjajahan dan penderitaan. Ternyata slogan-slogan itu bohong belaka. Ummat Islam diperintahkan untuk menyembah (ruku) menghadap tokyo dan matahari, kekayaan bangsa Indonesia diangkut ke Jepang. Rakyat Indonesia, ummat Islam, diharuskan kerja paksa (romusha). Timbullah kelaparan di mana-mana dan organisasi politik masyarakat dibubarkan. 
Disaat-saat kritis itu, K.H. Ahmad Sanusi tidak tinggal diam, beliau mencoba mendekati tentara Jepang supaya mendapat kelonggaran menghimpun Ulama, guru-guru dan pemuda Islam yang terhimpun dalam BII. Karena AII dibubarkan Jepang, komunikasi dengan ummat Islam terputus. K.H. Ahmad Sanusi mengajukan permohonan kepada jepang untuk menghidupkan kembali AII, dengan perubahan nama Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII). K.H. Ahmad Sanusi diangkat menjadi residen bogor dan menjadi anggota parlemen Jepang (Cuo sangi in)
Pada saat-saat perjuangan kemerdekaan Indonesia, K.H. Ahmad Sanusi mempunyai hubungan yang lebih akrab dan erat dengan K.H. Abdul halim terutama pada lembaga-lembaga yang sama-sama mereka duduki. Di MIAI, Masyumi, parlemen Jepang, PETA, Hizbullah dan Bada Penyelidik Usaha Pemeriksaan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang kemudian menjadi KNIP. Diskusi dan tukar pikiran antara keduanya mempunyai sikap yang sama terutama menghadapi perjuangan bangsa, masalah keagamaan, masalah ummat dan persatuan ummat. Gagasan-gagasan yang dilahirkan berupa pemikiran persatuan umat Islam. Keinginan timbul dari kedua ulama ini untuk mempersatukan perikatan Umat Islam (PUI) dari majalengka dibawah pimpinan K.H. Abdul Halim dengan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) pimpinan K.H. Ahmad Sanusi (Sukabumi). 

3. Pelembagaan Dakwah Melalui Pesantren 
Salah satu kenangan yang masih eksis hingga kini masih dapat sisaksikan sebagai sebuah kenang-kenag terindah yang beliau wariskan adalah adanya sebuah pesantren berbasis salafi. Yang dikenal merupakan pesantren yang memngeuarkakn lulusan yang lumayan mempunyai kredibilitas tinggi terhadap agama islam dan punya nalar intelektual yang tinggi serta berwawasan islam yang kompeten. Pesantren yang pernah beliau rintis itu tidak lantas berdiri besar seperti yang nampak saat ini. Ada beberapa fase yang pernah beliau lewati dalam pembangunan pesantren itu. Diantaranya: 

a. Fase pertama 
Fasse ini bermula saat beliau pulang dari mekkah dengan dengan mengeloila pesantren milik ayahnya di daerah Cantaya, Cikembar, kabupaten Sukabumi. Awalnya memang berupa pengajian ruitnan bapak-bapak. Pendiri pertamanya tentu ayahandany sendiri( K.H Abdurrohim). Pada tahun 1922 beliau merntis pendidikan yang bercikal bakal Pondok Pesantren Syamsul Ulum. Disinilah juga beliau melahirkan kiyai-kiayi besar di sukabumi. 
Selain itu pada fase ini juga beliau mendirikan pesantren di Genteng Babakan Sirna dalam rangka strategi melawan penjajahan Belanda. Saat itu alumni yang lahir dari pesantren itu adalah K.H Yusuf Tajiri dari pesantren Darussalam, wanaraja, garut, K.H Ma’shum dari pesantren bandongan, bogor. K.H Soleh Iskandar dari pesantren Darul Qolam, Ciampea, bogor. Pada fase ini juga beliaulah yang merintis lahirnya AII ( Al-itihad islamiyyah). Salahsatu visi pesantrennya yang terkenal adalah Pendidikan, Dakwah, dan Perjuangan. 

b. Fase Kedua 
Fase ini dimulai saat sepulangnya beliau dari internir di Jakarta tahun 1932 beliau mengadakan Majlis pengajian di daerah Cipelang Gede Kebon Danas, kota Sukabnumi yang dihadiri oleh seluruh masyarakat Sukabumi waktu itu. Pada tahun 1933 beliau membeli sebidang tanah yang ukurannya sekitar 15.000 m2 di daerah Gunung Puyuh, yang asalnya merupakan rawa hasil timbunan tanah yang dibuatkan got yang besar untuk aliran air. Setelah kering mula-mula yang di buat adalah untuk pembangunan masjid dan pesantren, sementara santri yang ada kesan untuk menyantri terpaksa di inapkan di pemukiman warga setempat. 
Maka dengan pendidikan yang penuh dengan motivasi untuk lepas dari belenggu penjajahan, pembekalan santri yang dilakukan oleh beliau adalah pembekalan nilai-nilai agama yang dilengkapi pendidikan perjuangan. Maka tidak heran para tokoh nsional pun merapatkan dirinya bergabung bersama pesantren dan santri beliau, diantara nama-nama pejuang nasional yang membantu perjuangan bersamanya adalah Bung Karno, H.O.S Cokroaminoto, Ali Sastro Amijoyo. Merekalah yang bersama-sama membela dan mempertahankan Republik Indonesia dan menjadikan pondok pesantren itu sebagai markas sabilillah dan hizbullah dengan motivasi dalam rangka menciptakan pemimpin-pemimpin bangsa yang berilmu amaliyyah dan beramal ilmiyyah berjuang demi tegaknya izzul islam wal muslim serta kemerdekaan Indonesia. 
Karena antusiasme masyarakat sangat besar serta pendidikan itu dianggap penting demi mewujudkan visi diatas masyaraktikut juag membangun dan mengembangkan serta mempasilitasi para santri dengan memberikan kelonggaran untuk menempati perumahan mereka bagi para santri yang mesantren disana. Akhirnya secara resminya pada tanggal 16 syawal 1358 H atau bertepatan dengan tanggal 20 desember tahun 1937 dibukalah perguruan Syamsul ulum yang dibuat tiga tingkatan santri yang belajar disitu dengan pola pengajaran selama empat tahun tiap tingkatnya. Beliau lah yang menjadi guru besarnya saat itu. 
Disamping juga ada guru-guru pembantunya seperti K.H Zarkasyie Sanusi, K.H Badri Sanusi dan K.H Juwaeni. Alumni yang lahir pada fase ini diantaranya: 
a. K.h Khoer Affandi ( Pimpinan Pondok Pesantren Manonjaya, Tasikmalaya). 
b. K.h Tubagus Bakri (Pimpinan Pondok Pesantren Sempur, Purwakarta). 
c. K.H Endang Muhtar ( Pondok Pesantren Cipanas, Cianjur). 
d. Prof. Dr K.H.E.Z muttaqien ( Ketua MUI Jawa Barat/ Rektor Unisba Bandung). 
e. Prof. Dr. Ibrahim Husein ( Rector PTIQ Jakarta / Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat). 

c. Fase ketiga 
Fase ketiga Merupakan fase mempetahankan kemerdekaan para saantri disamping mempelajari ilmu agama juga sebagai da’I dan pejuang. Disamping AII, didirikan pula organisasi pemuda seperti BII (Barisan Islam Indonesia) sebagai ujung tombak dalam mempertahankan keutuhan republic Indonesia. Pada fase ini beliau diangkat oleh pemerintah menjadi anggota BPUPKI dan mendapat kehormatan dari pemerintah berupa Bintang Maha Putera Utama. Di bidang pendidikan, dibentuk Ittihadiyatul Madaris Islamiyah (IMI), yang dipimpin oleh KH. Ahmad Sanusi sendiri. Kemudian beliau menyusun buku Majmu’ul Furun (Antologi Bidang Study), yang terbit tiga bulan sekali secara terus-menerus. Dan pada fase ini juga beliau menghembuskan nafas yang terakhir mengahadap Tuhannya yang Maha Pengasih. 

d. Fase keempat 
Fase ini merupakan masa kemerdekaan Indonesia. Setelah beliau berpulang ke rahmatullah dan sejarah bergulir. Maka tonggak kepengurusan digantikan oleh putra tertuanya, yakni K.H.A Zarkasyie Sanusi dengan acuan tetap pada visi yang pernah ayahandanya bangun, yakni pendidikan, dakwah dan perjuangan. Pada tahun 1952 AII berubah jadi PUI sebuah harapan yang ingin KH Ahmad Sanusi bangun sebelum wapatnya namun digabungkan dengan organisasi perikatan Oelama Indonesia (POI) yang didirikan oleh K.H Abdul Halim. 
Kemudian pada fase ini PUI dan POI di fusi-kan di Bogor menjadi PUI. Ini merupakan sebuah cita-cita yang pernah diidam-idamkan oleh beliau semasa hayatnya, yakni ingin mempersatukan umat islam. Pada tahun 1953 didirikannyalah Madrasah Persiapan dan Madrasah Tsanawiyah dengan kurikulum dari PB PUI di Majalengka dan pada tahun 1956 didirikan Madrasah Aliyah dengan kepala sekolahnya K.H.A Zarkasyie Sanusi. K.H Ahmad Zarkasyie Sanusi Penerus pertama pendidikan pesantren 

e. Fase kelima 
Setelah Zarkasie Sanusi wafat, maka pimpinan pesantren diteruskan oleh putra kedua dari KH Ahmad Sanusi, yakni K.H.M Badri Sanusi dengan tetap mengamalkan visi yang ayahandanya rintis. Perguruan Syamsul Ulum ini memiliki beberapa kegiatan diantaranya: 
1. Bidang pendidikan formal Bidang pendidikan ini meliputi: Tk, MI, MTs, MA, SMA, dan SMK. Kemudian pada tahun 1980 didirikanlah peguruan tinggi yang memiliki tiga fakultas,yakni: fakultas syariah dengan jurusan akhwal asysyakhsiyah, fakultas tarbiyyah denga jurusan pendidikan ama islam , dan fakultas ilmu sosial dan ilmu pemerintahan dengan jurusan ilmu admisnistrasi Negara. 
2. Pendidikan non formal Yaitu: pondok pesantren putera dan puteri dengan ma’had salafinya. Dengan jumlah santri lebih kurang 1390 orang. 
3. Pendidikan informal Yaitu: dakwah berupa majlis ta’lim yang hingga kini sudah berjumlah 120 cabang majlis ta’lim dan kaum ibu serta kulliyatul mu’alimin yang merupakan ma’hadul aliy (pesantren tinggi) dengan melibatkan masyarakat yang pesertanya para mutaalmin dan asatidz.  Selain itu juga pondok pesntren syamsul ulum ini tidak serta merta membiarkan masyarakatnya yang mempunyai potensi tidak di fasilitasi. Maka untuk menangggulangi hal itu diadakanlah koperasi pondok pesantren dan koperasi simpan pinjam syari’ah seperti BMT( Baitul Maal Wattamwil). Usaha majlis taklim juga menambahkan hasil dari daerah dan dimanfaatkan oleh daerah lainnya. Sehingga terjadilah perputaran dari satu daerah ke daerah lainnnya dengan dipelopori oleh maljlis taklim itu. Maka fungsi majlis taklim tidak hanya sebagai tempat untuk pasilitas dalam kegiatan berdakwah semata tapi ada nilai plusnya yakni sebagai penggerak ekonomi masyarakat sekeliling dan warga sekitar. 

KH AHMAD SANUSI DAN REKONTRUKSI UMMAT 
Rencana Pembentukan Pesantren Pada tahun 1934, KH. Ahmad Sanusi dibebaskan dari pengasingan. Beliau kembali ke Sukabumi, dengan status Tahanan kota. Di Sukabumi, beliau langsung mendirikan pesantren di Gunugpuyuh (Pontren Syasmul ‘Ulum sekarang yang terletak di Jalan Bhayangkara No. 33). Pembinaan santri-santri dan para ulama yang ditinggalkan selama 7 tahun, semakin ditingkatkan. Sikap kebangsaan (politik), semakin dipertegas, yaitu bahwa “Belanda adalah musuh Agama dan Bangsa”. Sikap ini dita’ati oleh para santri dan ‘ulama. 
Perkembangan Pesantren Gunungpuyuh cukup pesat. Alumni pesantren Genteng Babakan Sirna dan Pesantren Gunungpuyuh tersebar dimana-mana,. Bersama-sama masyarakat setempat, didirikan Pesantren, Madrasah, Masjlis Ta’lim, dan Majlis Umum. Majlis Umum ini sehari-harinya berfungsi sebagai Madrasah. Satu atau dua kali dalam seminggu digunakn untuk ceramah-ceramah, untuk membina dan menyeragamkan pelajaran, metoda dan tuntunan lainya. 

Karya KH Ahmad Sanusi 
Selain sebagai seorang pejuang dari tanah pasundan, juga sebagai seorang yang telah berhasil mempersatukan umat islam dalam lembaga PUI meskipun tak pernah beliau lihat sendiri bentuk nyatanya. Ternyata jasa-jasa beliau masih banyak sehingga tidak kurang 75 buku telah ditulisnya, antara lain kitab Tamsyiah al-Muslimin fi Kalam Rabb al-Alamin (Perjalanan Muslimin dalam Firman Tuhan Seru Sekalian Alam), dan Raudah al-Irfan (Taman Ilmu Pengetahuan). Ia juga menulis buku-buku yang membahas ilmu tauhid dan fikih. Kini kami hanya menyebutkan berapa peninggalan yag masih tersisa hingga kini, ini dikarenakan beberapa alasan dari pihak pesantren. 

Tafsir Bahasa Sunda (Raudhatul ‘irfan fi ma’rifati al-Qur’ân) 
Salah satu karya KH. Ahmad Sanusi yang banyak dikenal di masyarakat Sunda adalah kitab Raudhah al-‘Irfân fi ma’rifah al-Qur’ân yang bisa dikatakan sebagai kitab tafsir sunda. Beliau adalah salah satu dari tiga ulama Sunda (Jawa Barat) yang produktif menelorkan kitab-kitab asli Sunda yang berisi tentang ajaran agama Islam. Dua yang lainnya, adalah Rd. Ma’mun Nawawi bin Rd. Anwar yang menulis berbagai risalah singkat. Begitu juga ulama sekaligusi penyair terkenal, ‘Abdullah bin Nuh dari Bogor yang menulis karya-karya penting tentang ajaran-ajaran sufi, yang didasarkan atas pandangan al-Ghazâli. 
Dalam menyusun buku ini beliau hanya berprinsip utama terhadap visi yang selama ini di gemborkannya, yakni pendidikan, dakwah dan perjuangan. Salahsatu cara untuk menjalankan misinya agar sampai pada masyarakat adalah melalui jalan dakwah itu. Metode dan ragam yang ada sebagai hal yang bisa memudahkan dilakukannya. Salahsatunya Alqur’an yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa sunda. Sehingga nilai-nilai keislaman bisa di transformasikan secara langsung dan mudah dipahami dan diterima oleh masyarakatnya. Segala cara pun telah dirintisnya hingga dalam berbagai sikapnya pun beliau berusaha agar sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam alqur’an, sehingga citranya di masyarakat dapat tercipta dengan baik sehingga masyarakat dapat mudah menerima islam seutuhnya. Karena memang cara beragama sedikit banyak dipengaruhi oleh kharisma tokohnya yang terbentuk secara alamiah. Karena kharisma, dalam sosiologi agama mempunyai peran besar dalam transformasi idiologis dalam masyarakat yang cendrung feodal-tradisionlis. 
Dalam konteks ini, pertimbangan pilihan karya terlihat dipengaruhi oleh faktor tertentu (baca ketokohan) terlepas dari keberadaan isi yang terkandung di dalamnya. Secara sosiologis, masyarakat muslim –khususnya di pedesaan– memang mempunyai tingkat apresiasi tinggi terhadap seorang tokoh yang dikenalnya. Hanya saja, apresiasi atas karya KH. Ahmad Sanusi ini pada proses selanjutnya lebih diarahkan pada 'kepentingan pragmatis' untuk mencerna pesan Qur’ani, tanpa dihubung-hubungkan dengan mitologi atas diri KH. Ahmad Sanusi sebagaimana analisis di atas tadi.
Lebih dari itu, sisa-sisa kepercayaan animisme yang tidak bisa lepas dari aspek mitologi, dalam batas tertentu bisa jadi mempengaruhi 'cara pandang idiologis' setiap individunya, tidak terkecuali bagi tokoh agamanya. Kitab Raudhatu al-‘Irfân fi ma’rifati al-Qur’ân bisa dikatakan sebagai starting point di tengah tradisi tulis-baca di dunia pesantren yang belum cekatan dalam menelorkan karya tafsir yang utuh. Tidak kurang dari sekian banyak pesantren di ranah parahyangan mempergunakan kitab tafsir ini dalam proses belajar-mengajar. Begitu juga, “pengajian kampungan” di lingkungan masyarakat yang dibimbing oleh para almuni pesantren-pesantren di Jawa Barat tersebut, baik yang dilakukan secara rutin (berkala) maupun pada waktu tertentu (insidentil). Dengan gampang kita menemukan kitab tafsir ini di beberapa toko-toko kitab di pasar-pasar tingkat kecamatan sekalipun. Naik cetaknya juga sudah tidak terhitung berapa kali, sejak diterbitkan oleh beberapa penerbit yang berbeda-beda dan tanpa tahun penerbitan pertama. 
 Karakteristik Kitab Tafsir Raudhatul ‘Irfan Kitab ini terdiri dari dua jilid, jilid pertama berisi juz 1-15 dan jilid kedua berisi juz 16-30. Dengan mempergunakan tulisan Arab dan bacaan Sunda, ditambah keterangan di samping kiri dan kanan setiap lembarnya sebagai penjelasan tiap-tiap ayat yang telah diterjemahkan. Model penyuguhan tersebut, bukan saja membedakannya dari tafsir yang biasa digunakan di pesantren dan atau masyarakat Sunda umumnya, melainkan berpengaruh banyak pada daya serap para peserta pengajian. Tulisan ayat yang langsung dilengkapi terjemahan di bawahnya dengan tulisan miring akan membuat pembaca langsung bisa mengingat arti tiap ayat. Kemudian, bisa melihat kesimpulan yang tertera pada sebelah kiri dan kanan setiap lembarnya. Keterangan yang ada di kiri-kanan di setiap lembarnya, berisi kesimpulan dari ayat yang tertulis di sebelahnya dan penjelasan tentang waktu turunnya ayat (asbâb an-nuzûl), jumlah ayat, serta huruf-hurufnya. Kemudian, disisipi dengan masalah tauhid yang cenderung beraliran ‘Asy’ari dan masalah fikih yang mengikuti madzhab Syafi’i. Kedua madzhab dalam Islam itu memang dianut oleh kebanyakan masyarakat muslim di wilayah Jawa Barat. 
Dari sini terlihat bagaimana KH. Ahmad Sanusi mempunyai strategi tersendiri dalam menyuguhkan ayat-ayat teologi dan hukum yang erat kaitannya dengan paham masyarakat pada umumnya. Pengertian perkata yang ada dalam tafsir ini nampaknya diilhami oleh Tafsîr Jalâlain Karya Jalâluddîn al-Suyûthî dan Jalâluddîn al-Mahallî yang banyak dipergunakan di lingkungan pesantren Jawa. Ini terlihat dari awal penafsiran surat al-Fâtihah sampai surat-surat yang sesudahnya. Model Tafsîr Mufradât (tafsiran kata per kata) yang melekat pada tafsir al-Jalâlain telah berpengaruh banyak atas diri KH. Ahmad Sanusi ketika meracik tafsirannya untuk setiap kata dalam surat-surat al-Quran. Mungkin ini yang bisa dilakukan ketika tafsir yang dibuat sengaja diarahkan untuk dikonsumi oleh kebanyakan masyarakat muslim sunda yang belum terbentuk kesadarannya secara sempurna akan teks kitab suci. 
Pada kenyataanya, pengguna tafsir ini memang terpikat karena gaya penafsiran perkata itu. Bahwa setelah kemunculan tafsir karya KH. Ahmad Sanusi di atas, kebutuhan masyarakat Sunda atas pengetahun tafsir al-Quran semakin meningkat. Hal itu tidak berbanding lurus dengan kemampuan untuk menyerap langsung dari kitab-kitab yang bertuliskan “Arab asli”. Hal inilah yang kemudian menjadi motifasi untuk menyuguhkan terjemahan al-Quran “versi Sunda” yang banyak dilakukan oleh beberapa penerbit pasca kemunculan karya KH. Ahmad Sanusi. 
Beliau pun dikenal sebagai salah satu penganut Tarekat Qadiriyah yang banyak dianut oleh masyarakat pra/pasca kemerdekaan. Bahkan, para pemuda yang berjuang untuk kemerdekaan, kerap meminta ajaran dan kekebalan kepada KH. Ahmad Sanusi berkaitan dengan terjemahan Manâqib Abdulqâdir Jailânî yang kemudian jadi pedoman Tarekat Qadiriyah itu. Berdasarkan reportase penulis ke beberapa pengguna dan pengajar, kelebihan kitab ini teletak pada kemudahan pesan dan kesan yang disampaikan oleh penulisnya. 
Meski mempergunakan tulisan Arab dengan bacaan Sunda, tapi para peserta pengajian dapat menyerapnya dengan mudah. Padanan kata yang digunakannya pun, sesuai dengan kosakata keseharian yang mana tidak membutuhkan waktu dan tenaga untuk menyerap isinya. Begitu juga, pengalih-istilahan arti yang disesuaikan dengan simbol-simbol makna bahasa Sunda. Seperti mengartikan kata “dzarrah” dengan biji sawi, yang diakui dan dikenal sebagai benda yang terkecil dalam tradisi bahasa Sunda. Sepertinya, model tafsir yang mempunyai dialektika dengan simbol-simbol makna yang disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu tertentu mempunyai titik fungsional tersendiri. Seorang pembaca diajak menelusuri makna yang memang hadir di dalam kehidupannya sehari-hari dan langsung terasa getarannya. 
Kontekstualisasi tafsir semakin terlihat dalam karya KH. Ahmad Sanusi manakala membaca setiap arti kata yang berusaha dikorelasikan dengan padanan bahasa Sunda. Dan, beliau berhasil menelorkan karya itu di tengah masyarakat yang haus akan kebutuhan pesan-pesan Qur’ani yang relevan dengan realitas keseharian mereka. Kitab Tafsir ini merupakan karya monumental dari seseorang yang bergelut lama di dunia belajar-mengajar di lingkungan pesantren. Bacaan atas teks-teks tafsir Arab yang ada di lingkungannya telah menginspirasikan KH. Ahmad Sanusi untuk membuat sebuah karya yang sampai sekarang layak dijadikan contoh oleh para pengkaji tafsir, khususnya yang berbahasa Sunda. Karena tafsir adalah nalar kita atas kitab suci yang dibentuk oleh lokus budaya dan bahasa yang terus bergerak. Intelektual muslim sunda sedianya melanjutkan estafet KH. Ahmad Sanusi, sehingga Al-Quran akan sesuai dengan perubahan ruang dan waktu (shâlihun li kulli zamân al makân). 

Daftar Pustaka 
Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Selasa 17 Maret 2009. Republika Online, minggu 07 November 2010. 
Kumpulan artikel tentang K.H Ahmad Sanusi di Ponpes Syamsul ‘Ulum Sukabumi Pdf Iskandar Mohammad tentang “Ulama Tradisional dalam Perubahan Zaman: Kasus Kiai Haji Ahmad ajengan Ahmad

Komentar